Otoritas Tubuh Perempuan dalam Bingkai Feminisme Islam dan Feminisme Radikal
Otoritas Tubuh Perempuan Dalam Bingkai Feminisme Islam Dan Feminisme Radikal
Sebuah esai mengenai perbandingan aliran feminisme
Raafi Herdiansyah Putra, raafi.akademik@gmail.com
Program Magister Sosiologi, FISHUM, UIN Sunan Kalijaga
PENDAHULUAN
Gerakan feminisme lahir sebagai upaya untuk memperjuangkan hak-hak perempuan atas berbagai bentuk penindasan dan ketidaksetaraan yang berlangsung dalam berbagai aspek kehidupan sosial di berbagai belahan dunia. Selama berabad-abad lamanya, gerakan ini terus mengalami perkembangan, memunculkan beragam aliran feminisme yang memiliki karakteristik dan pendekatan yang berbeda dalam memperjuangkan kepentingan perempuan. Dua aliran feminisme yang banyak dibahas adalah feminisme islam dan feminisme radikal utamanya dalam hal otoritas tubuh perempuan. Esai ini berupaya untuk membandingkan dua aliran feminisme dari segi prinsip dasar, perdebatan, serta kritik mengenai otoritas tubuh perempuan.
Otoritas tubuh perempuan merujuk pada hak, kendali, dan kebebasan yang dimiliki perempuan atas tubuhnya sendiri, termasuk bagaimana tubuh itu dimaknai, digunakan, dirawat, ditampilkan, dan diposisikan dalam masyarakat. Konsep ini merupakan bagian penting dalam wacana feminisme karena menyangkut isu-isu fundamental seperti seksualitas, reproduksi, kesehatan, penampilan, hingga kekuasaan atas keputusan yang menyangkut diri perempuan. Dalam masyarakat patriarkal, tubuh perempuan sering kali tidak dianggap sebagai milik pribadi sepenuhnya, melainkan sebagai objek sosial, simbol moralitas, atau bahkan alat reproduksi yang diatur oleh norma budaya, agama, hukum, dan negara. Akibatnya, kontrol atas tubuh perempuan kerap diambil alih oleh institusi atau sistem yang melalui regulasi seperti larangan aborsi, kewajiban berbusana tertentu, pembatasan hak seksual, maupun praktik sosial seperti kekerasan berbasis gender dan pemaksaan peran reproduktif.
Feminisme radikal berkembang pada era 1960-1970an yang termasuk dalam feminisme gelombang kedua menekankan pada ketidaksetaraan gender yang dialami perempuan dianggap sudah terlalu melekat dalam struktur sosial, budaya, hingga relasi personal. Patriarki sebagai akar dari penindasan dan ketidaksetaraan yang dialami perempuan disebut sebagai sistem kuasa untuk mengendalikan segala aspek kehidupan perempuan termasuk tubuh, seksualitas, keluarga, ekonomi, hingga politik. Sehingga diperlukan sebuah perubahan revolusioner untuk membongkar institusi keluarga tradisional, norma, heteroseksual, hingga pada konsep gender.
Sementara itu feminisme islam hadir ditengah masyarakat muslim yang mempunyai peran sentral dalam kehidupan sosial dan politik. Meskipun upaya penafsiran islam secara adil terhadap perempuan sudah dilakukan sebelumnya, feminisme islam baru populer di akhir abad ke-20. Feminisme islam berupaya untuk mengkritisi tafsir-tafsir male mainstream yang cenderung patriarkal dalam teks-teks Al-Quran dan hadis. Para feminis muslim percaya bahwa ketidakadilan yang selama ini dirasakan oleh kaum perempuan bukan berasal dari ajaran islam, melainkan akibat dari interpretasi agama yang dikuasai oleh struktur patriarki. Sehingga diperlukan ijtihad (penafsiran ulang) atas teks-teks agama dalam perspektif keadilan gender.
Penjabaran mengenai dua aliran feminisme di atas, dapat disimpulkan bahwa patriarki merupakan akar permasalahan dari penindasan dan ketidaksetaraan yang dialami oleh perempuan yang selama ini terjadi. Namun pendekatan keduanya dalam membedah aspek nilai dan filosfis yang terjadi di masyarakat sangatlah berbeda. Feminisme liberal berasal dari rasionalitas modern, humanisme sekuler, dan hak-hak individu. Dalam aspek otoritas tubuh perempuan, feminisme liberal sangat menitikberatkan pada pilihan perempuan untuk menikah, melahirkan, hingga menyusui. Mereka menganggap bahwa semua hal yang dilakukan oleh perempuan disebabkan oleh tututan sosial bukan atas dasar keinginan perempuan. Selain itu institusi keluarga tradisional menempatkan perempuan sebagai objek seksual dan pabrik pembuat anak.
Sementara itu, feminisme islam menjadikan Al-Quran dan Hadis sebagai sumber legitimasi perjuangannya untuk membebaskan perempuan dari belenggu patriarki. Sehingga aliran feminisme ini tidak hanya menuntut kesetaraan dari perspektif hukum, namun juga terhadap landasan normatif keagamaan. Kebebasan dalam feminisme islam dipahami sebagai sebuah kerangka ketaatan pada prinsip spiritual dan batiniah. Islam sejatinya membawa prinsip kesetaraan gender yang perlu dihidupkan kembali melalui tafsir kritis. Dalam aspek otoritas tubuh perempuan semua dipandang melalui kerangka moralitas islam. Sebuah emasipasi diyakini tidak harus keluar dari tradisi agama, melainkan mempertajam dan memahami Al-quran dan hadis sebagai pedoman hidup.
Perdebatan Isu Tubuh Perempuan
Dinamika yang terjadi akibat dari perbedaan konsep diantara dua aliran feminisme memunculkan perdebatan khususnya dikalangan masyarakat muslim. Tulisan oleh Nanda Tsani yang berjudul “Berebut Wacana Otoritas Tubuh Perempuan” menjelaskan adanya problematika yang terjadi akibat dari perbedaan paham dan konsep otoritas tubuh perempuan dan feminisme di masyarakat. Dalam tulisannya itu ia memulai dengan sebuah pertanyaan ”bagaimana jika kelompok perempuan yang menyuarakan hak tubuhku otoritasku dibalas dengan tubuhku milik tuhanku oleh kelompok perempuan lain ?” Kelompok-kelompok konservatif yang kontra terhadap isu feminisme dan otoritas tubuh perempuan menilai bahwa berbagai kebijakan mengenai kekerasan seksual akan dengan mudah disusupi agenda feminisme barat (termasuk dalam hal ini; feminisme radikal) yang membuka ruang amoralitas seksual seperti seks bebas dan seks sesama jenis yang membahayakan harmoni keluarga tradisional, kesakralan pernikahan, dan fitrah perempuan dalam nilai-nilai islam.
Dalam feminisme islam, tubuh perempuan dipandang sebagai titipan dari Allah SWT (atas dasar ilahiah) yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab dan kehormatan. Perempuan memilki hak atas tubuhnya sendiri seperti hak kesehatan, keselamatan dari kekerasan, dan hak untuk menolak perlakuan zalim pada tubuhnya. Namun otoritas itu dibingkai oleh norma agama, sehingga terdapat batasan etis dan hukum berdasarkan prinsip syariah.
Kontras dengan hal tersebut, feminisme radikal menganggap bahwa fokus terhadap tubuh perempuan menjadi arena penindasan misalnya seperti kontrol reproduksi, kekerasan seksual, pornografi, prostitusi, hingga tekanan kecantikan. Oleh sebab itu diperlukan dorongan pembebasan perempuan melalui kontrol penuh atas tubuh dan seksualitas mereka termasuk hak atas aborsi, kebebasan seksual, penghapusan norma-norma gender tradisional. Selain itu, mereka percaya bahwa keluarga tradisional, pernikahan, dan institusi sosial sebagai alat kontrol sosial terhadap perempuan.
Hijab Sebagai Simbol dan Pilihan Berbasis Iman
Salah satu isu mengenai otoritas tubuh perempuan yang menjadi perdebatan adalah penggunaan hijab untuk perempuan. Para feminis radikal menganggap bahwa penggunaan hijab pada perempuan merupakan suatu simbol patriarki yang menghalangi dan membatasi perempuan. Sementara itu, para feminis islam memandang hijab dengan berbagai cara mulai dari simbol kebebasan dan identitas hingga penindasan. Salah satu ulama Husein Muhammad berpendapat bahwa keadilan harus berjalan selaras dengan prinsip kebebasan yang merupakan hak setiap manusia. Dalam karyanya, ia menekankan bahwa kebebasan tidak seharusnya dibatasi hanya karena penggunaan jilbab, sebab pilihan dan keyakinan tersebut mencerminkan otonomi berpikir yang membedakan manusia sebagai makhluk rasional.
Feminis Islam berpendapat bahwa penggunaan hijab adalah pilihan individu yang berlandaskan pada keyakinan dan spiritualitas. Pandangan ini secara langsung maupun tidak langsung menjadi bentuk kritik terhadap argumen feminisme radikal, yang sering memaknai hijab sebagai simbol penindasan perempuan oleh sistem patriarki. Hal ini berkaitan dengan fokus utama feminisme radikal pada kebebasan tubuh dan seksualitas perempuan, yang dianggap terganggu oleh norma-norma keagamaan dan budaya.
Kritik Terhadap Feminisme Islam dan Feminisme Radikal
Meskipun sama-sama memperjuangkan hak-hak perempuan dan penentangan patriarki, feminisme radikal dan feminisme islam memiliki pandangan yang berbeda terhadap beberapa aspek yang meliputi landasan pikir, sikap terhadap seksualitas, dan hak reproduksi. Sama seperti aliran-aliran feminisme lainnya kedua feminisme ini memiliki kritik terhadap ide dan pemikirannya. Feminisme radikal dianggap kurang sensitif dengan nilai-nilai budaya dan agama yang melekat dengan masyarakat. Selain itu, aliran feminisme ini juga kurang kontekstual dan unviversal dan terlalu berbasis pengalaman perempuan kulit putih barat kelas menengah.
Sedangkan feminisme islam dikritik karena terlalu toleran terhadap patriarki agama. Selain itu aliran feminisme ini dianggap membatasi ruang gerak perempuan karena keterikatannya dengan teks-teks agama. Beberapa kritikus juga mengatakan bahwa dengan tetap mempertahankan kerangka agama, feminisme islam rentan terhadap konservatisme internal dan sulit mendorong perubahan radikal terhadap struktur patriarki. Ada pula yang mempertanyakan apakah feminisme Islam benar-benar dapat disebut "feminisme" jika tetap berpegang pada teks-teks yang secara historis digunakan untuk membenarkan ketidaksetaraan.
PENUTUP
Perdebatan mengenai otoritas tubuh perempuan merupakan salah satu titik temu sekaligus titik perbedaan paling tajam antara feminisme radikal dan feminisme Islam. Kedua aliran ini sama-sama menekankan pentingnya kebebasan perempuan atas tubuhnya sendiri, namun kerangka epistemologis, nilai dasar, serta pendekatan yang digunakan berbeda secara signifikan. Feminisme radikal memandang tubuh perempuan sebagai medan utama penindasan patriarki. Bagi para feminis radikal, tubuh perempuan selama ini telah direduksi menjadi objek seksual, alat reproduksi, dan simbol moralitas yang dikendalikan oleh norma sosial, hukum, dan institusi patriarkal seperti keluarga, negara, dan agama. Oleh karena itu, mereka menuntut pembebasan total atas tubuh perempuan termasuk hak atas aborsi, penolakan terhadap kontrol keagamaan, dan perlawanan terhadap norma heteroseksualitas serta kewajiban reproduksi. Tubuh perempuan dalam pandangan ini adalah wilayah kedaulatan pribadi yang tidak boleh dikontrol oleh kekuatan eksternal apa pun. Dalam kerangka ini, hijab atau simbol religius lain kerap dimaknai sebagai representasi pengekangan terhadap kebebasan tubuh perempuan, terlepas dari alasan spiritual atau pilihan personal yang melatarbelakanginya.
Sebaliknya, feminisme Islam membangun argumen otoritas tubuh perempuan dengan pendekatan teologis dan kontekstual. Bagi para feminis Muslim, tubuh perempuan adalah amanah dari Tuhan yang harus dihormati, dijaga, dan dijalani dengan kesadaran spiritual serta agensi individu. Mereka tidak memisahkan antara iman dan kebebasan; justru meyakini bahwa pilihan untuk mengenakan hijab atau hidup dalam norma religius tertentu adalah bentuk kebebasan yang sah, bukan paksaan. Tokoh-tokoh feminis muslim menegaskan bahwa perempuan Muslim dapat memiliki kontrol penuh atas tubuh mereka dalam kerangka iman, dan bahwa patriarki yang berkembang dalam masyarakat Muslim lebih banyak dipengaruhi oleh tafsir bias gender daripada esensi ajaran Islam itu sendiri. Dengan demikian, feminisme Islam tidak menolak agama, tetapi justru mereformasi pemahaman keagamaan agar lebih adil gender.
Perbandingan ini menunjukkan bahwa perjuangan untuk keadilan gender tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial, budaya, dan agama di suatu wilayah. Kesetaraan gender tidak dapat dicapai melalui satu cara, melainkan melalui berbagai jalur yang mencerminkan kebutuhan, identitas, dan aspirasi perempuan yang beragam di seluruh dunia. Memahami keragaman ini sangat penting agar kita tidak memaksakan satu aliran feminisme tertentu, melainkan mendorong solidaritas yang inklusif dan menghormati perbedaan.
REFERENSI:
Tsani, Nanda (2023). Berebut Wacana Otoritas atas Tubuh Perempuan. Retrieved https://crcs.ugm.ac.id/berebut-wacana-otoritas-atas-tubuh-perempuan/ Access on 28 April 2025
Fenomena Keberhasilan Feminisme (Studi Gender Feminisme Liberal dan Feminisme Radikal). (2024).Familia: Jurnal Hukum Keluarga,5(1), 25-36. https://doi.org/10.24239/familia.v5i1.197
Luthfiyah, Nafsiyatul. “Feminisme Islam Di Indonesia”.ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin16, no. 1 (April 1, 2015): 75–88. Accessed May 2, 2025. https://ejournal.uin-suka.ac.id/ushuluddin/esensia/article/view/161-06.