Magister Sosiologi UIN Sunan Kalijaga Gelar Kuliah Tamu Internasional: Religious Change and Indigenous People”

YOGYAKARTA, 26 Agustus 2025 – Program Studi Magister Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (FISHum) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta kembali menunjukkan komitmennya dalam menghadirkan wacana akademik bertaraf internasional dengan menyelenggarakan Kuliah Tamu bertajuk “Religious Change and Indigenous People”. Acara yang berlangsung pada Selasa, 26 Agustus 2025, di Multimedia Room FISHum ini menghadirkan profesor sosiologi terkemuka dari Australia, Prof. Adam Posamai dari Western Sydney University, Australia.

Kuliah tamu ini dibuka dengan sambutan hangat dari Kaprodi Magister Sosiologi, yang menekankan pentingnya dialog akademik lintas batas untuk memperkaya khazanah keilmuan sosiologi, khususnya dalam konteks Indonesia yang majemuk. Acara kemudian dipandu oleh Dr. Andri Rosadi, dosen tetap Magister Sosiologi yang kebetulan merupakan mantan mahasiswa bimbingan Prof. Adam Posamai saat menempuh studi doktoralnya di Australia.

Prof. Adam bukanlah nama asing di dunia sosiologi internasional. Ia adalah mantan Presiden dari International Society for the Sociology of Religion (ISSR) dan seorang ahli yang diakui secara global dalam bidang kehidupan agama postmodern dan masyarakat digital. Kehadirannya di Yogyakarta menjadi momen penting untuk menyegarkan perspektif kajian sosiologi agama di Indonesia.

Dalam paparannya yang mendalam dan provokatif, Prof. Adam mengusung dua argumentasi utama yang memicu diskusi kritis para peserta yang hadir, yang terdiri dari dosen, mahasiswa S2 dan S3, serta peneliti dari berbagai institusi.

Pertama: Dekolonisasi Kategori “Agama” dalam Masyarakat Adat

Poin pertama yang disorot Prof. Adam adalah kritik mendasar terhadap konsep “agama” itu sendiri. Ia menegaskan bahwa kategori “agama” sebagaimana yang dipahami dalam dunia akademik selama ini pada dasarnya adalah konstruksi Barat yang lahir dari sejarah dan pengalaman Judeo-Kristen. Kategori ini, katanya, seringkali dipaksakan sebagai lensa universal untuk memahami semua bentuk spiritualitas dan kepercayaan masyarakat di seluruh dunia.

“Ketika kita datang ke masyarakat adat (indigenous people) dengan kacamata definisi agama yang kaku dan Barat-centric, kita melakukan kekerasan epistemologis,” ujar Prof. Adam. “Kita menyimpulkan bahwa sistem kepercayaan yang terintegrasi dengan budaya, kearifan lokal, hubungan dengan leluhur, dan alam ini ‘bukan agama’. Implikasinya, masyarakat adat kemudian seringkali distigmatisasi sebagai ‘tidak beragama’,—sebuah kesimpulan yang sama sekali keliru karena mereka bukanlah ateis maupun sekuler dalam makna modern.”

Prof. Adam mendorong para akademisi dan peneliti untuk melakukan “dekolonisasi epistemologi”. Artinya, para sarjana harus lebih rendah hati dan terbuka pada realitas lapangan, membiarkan konsep dan kategori lahir dari masyarakat yang diteliti, bukan memaksakan konsep yang sudah ada. Pendekatan ini bukan hanya lebih etis tetapi juga akan menghasilkan pemahaman yang lebih kaya dan autentik tentang keragaman pengalaman keberagaman manusia.

“Tantangan kita adalah mendengarkan lebih serius. Mungkin kita membutuhkan kosakata baru yang tidak terkontaminasi oleh bias Barat untuk benar-benar memahami spiritualitas masyarakat Nusantara yang sangat kompleks dan kaya ini,” tambahnya.

Kedua: Antara Peluang dan Jebakan Artificial Intelligence (AI) dalam Riset Agama

Poin kedua yang dibawakan Prof. Adam sangat relevan dengan tantangan kontemporer di dunia penelitian. Sebagai ahli masyarakat digital, Ia mengakui bahwa AI menawarkan alat yang sangat powerful untuk membantu peneliti. Kemampuannya dalam mengolah big data, menganalisis pola teks kitab suci atau khutbah dalam skala masif, serta melakukan mapping jaringan sosial keagamaan secara digital adalah peluang yang tidak boleh diabaikan.

Namun, Prof. Adam mengingatkan dengan sangat serius tentang jebakan etika dan metodologi yang dibawanya. “AI adalah pisau bermata dua. Di satu sisi ia adalah asisten yang cerdik, di sisi lain ia bisa menjadi ‘kecanduan’ yang berbahaya,” tegasnya.

Bahaya utama, menurutnya, adalah ketika peneliti kehilangan kesabaran dan kejujuran intelektual dalam proses riset yang seringkali rumit dan berliku. “AI menggoda kita untuk mengambil jalan pintas. Daripada melakukan wawancara mendalam, observasi partisipan yang melelahkan, atau analisis teks secara manual, peneliti bisa tergoda untuk hanya ‘bertanya pada AI’. Hasilnya mungkin cepat dan terdengar koheren, tetapi itu adalah simulasi dari pemahaman. Itu adalah jawaban AI berdasarkan pola data yang ada, bukan hasil pergumulan intelektual Anda dengan data mentah di lapangan.”

Ia menekankan bahwa AI harus tetap menjadi alat (tool), bukan menjadi sang peneliti itu sendiri. Kejujuran, ketekunan, dan kedekatan dengan subjek penelitian tetap adalah nilai-nilai utama yang tidak boleh tergantikan oleh teknologi secanggih apapun.

Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang hidup. Para peserta antusias mengajukan pertanyaan yang mendalam, mulai dari penerapan metode penelitian decolonial di konteks Indonesia hingga pertanyaan teknis tentang pemanfaatan AI yang bertanggung jawab.

Kuliah tamu ini tidak hanya berakhir sebagai diskusi satu arah, tetapi juga menjadi pintu pembuka bagi kolaborasi yang lebih konkret. Di akhir acara, kedua pihak mengumumkan rencana untuk menjajaki kerja sama antara Western Sydney University dan Program Magister Sosiologi UIN Sunan Kalijaga. Kerja sama yang dimaksud adalah dalam bentuk program double degree, yang akan memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk merasakan pengalaman belajar di dua budaya yang berbeda dan memperoleh dua gelar dari kedua institusi.

Dr. Ambarsari Dewi sebagai Wakil Dekan bidang akademik yang juga hadir menyatakan mendorong inisiatif ini. “Ini adalah momen bersejarah. Rencana double degree ini bukan hanya tentang transfer kredit, tetapi tentang transfer pengetahuan, perspektif, dan membangun jembatan antarperadaban. Ini adalah implementasi nyata dari semangat dekolonisasi yang tadi kita bahas.”

Dengan ditutupnya acara ini, Magister Sosiologi UIN Sunan Kalijaga kembali menegaskan posisinya sebagai pusat kajian sosiologi yang progresif, kritis, dan terhubung secara global, siap menjawab tantangan zaman dengan wawasan yang inklusif dan mendalam.

Tentang Magister Sosiologi UIN Sunan Kalijaga: Program Magister Sosiologi di bawah Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dikenal dengan kekuatan pendekatan sosiologi yang mengintegrasikan ilmu-ilmu sosial dengan wawasan keislaman yang moderat dan inklusif.Program studi ini konsisten menghasilkan sarjana yang mampu menganalisis dan menjawab persoalan-persoalan masyarakat kontemporer dengan perspektif yang kritis dan berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan. (Ahmad Norma Permata)