Prodi Magister Sosiologi, MOGA dan ISAIS menyelenggarakan Guest Scholar Sufism and Civilization
Prodi Magister Sosiologi, MOGA dan ISAIS menyelenggarakan Guest Scholar Sufism and Civilization
Yogyakarta, [10 Agustus 2025] – Program Studi Magister Sosiologi, Institute for Southeast Asian Islam (ISAIS) dan Moslem and Global Affair (MoGa), menyelenggarakan diskusi terbatas bertajuk “Sufism and Civilization” di Cafe Extens, Janti - Yogyakarta. Acara ini menghadirkan Ikhsan Ul-Ikhtisam, MA mahasiswa doktoral dari Columbia University, sebagai pembicara utama. Diskusi ini mengupas penelitian Ikhsan tentang tradisi tarekat Qadiriyah dan penghormatan terhadap Syekh Abdul Qadir al-Jilani di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara, serta peranannya dalam membentuk jaringan keilmuan, sastra, dan perlawanan terhadap kolonialisme.
Dalam paparannya, Ikhsan menjelaskan bahwa tarekat Qadiriyah tidak hanya berperan sebagai gerakan spiritual, tetapi juga sebagai jaringan intelektual yang menghubungkan dunia Islam di Timur Tengah dengan Asia Selatan dan Tenggara. “Tradisi Qadiriyah mencerminkan kesinambungan antara pusat Islam di Baghdad dengan komunitas Muslim di anak benua India, Nusantara, dan sekitarnya,” ujarnya.
Syekh Abdul Qadir al-Jilani, pendiri tarekat ini, tidak hanya dihormati sebagai wali besar, tetapi juga sebagai simbol keilmuan dan keteguhan melawan ketidakadilan. Ikhsan menekankan bahwa penghormatan terhadap al-Jilani berkembang melalui berbagai medium, seperti karya sastra, ritual zikir, dan bahkan gerakan perlawanan terhadap penjajah Eropa.
Di Asia Selatan, tarekat Qadiriyah memiliki pengaruh kuat, terutama di kalangan sufi-sufi India dan Pakistan. Ikhsan mencontohkan bagaimana para pengikut Qadiriyah seperti Syah Waliullah ad-Dihlawi dan Mirza Mazhar Jan-e Janan mengintegrasikan ajaran tasawuf dengan gerakan pembaruan Islam. “Mereka tidak hanya mengajarkan zikir, tetapi juga menulis kitab-kitab yang menjadi rujukan penting dalam teologi dan filsafat,” jelasnya.
Selain itu, tarekat ini juga terlibat dalam perlawanan terhadap kolonialisme Inggris. Beberapa tokoh Qadiriyah terlibat dalam pemberontakan 1857 di India, yang dikenal sebagai The Great Rebellion. “Spiritualitas Qadiriyah tidak hanya tentang kedamaian, tetapi juga tentang semangat perlawanan terhadap penindasan,” tambah Ikhsan.
Sementara di Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia, tarekat Qadiriyah berkembang melalui proses akulturasi yang unik. Ikhsan menyoroti peran ulama-ulama Nusantara seperti Hamzah Fansuri dan Syekh Yusuf al-Makassari, yang menggabungkan ajaran Qadiriyah dengan tradisi lokal. “Syekh Yusuf bukan hanya seorang sufi, tetapi juga pejuang yang melawan Belanda. Ini menunjukkan bahwa spiritualitas dan perlawanan politik bisa berjalan beriringan,” paparnya.
Di Jawa, tradisi Qadiriyah juga melebur dengan budaya setempat, terlihat dalam praktik dzikir dan manaqib (pembacaan riwayat hidup Syekh Abdul Qadir al-Jilani) yang masih hidup di pesantren-pesantren. “Ini membuktikan bahwa Islam di Nusantara tidak terputus dari akar Timur Tengah, tetapi justru memperkaya khazanah global,” ujar Ikhsan.
Diskusi berlangsung interaktif, dengan peserta dari kalangan akademisi, aktivis, dan mahasiswa. Salah satu pertanyaan menarik adalah tentang relevansi tasawuf di era modern. Ikhsan menjawab bahwa tasawuf, khususnya Qadiriyah, menawarkan kerangka spiritual yang bisa menjadi penyeimbang kehidupan materialistik. “Tasawuf mengajarkan ketahanan mental, solidaritas, dan keberpihakan pada kaum tertindas—nilai-nilai yang masih sangat dibutuhkan hari ini,” tegasnya.
Acara ditutup dengan kesimpulan bahwa sufisme bukan hanya warisan masa lalu, tetapi juga sumber inspirasi untuk menjawab tantangan peradaban kontemporer. Diskusi ini diharapkan dapat memicu penelitian lebih lanjut tentang jaringan intelektual Islam global, khususnya dalam konteks Asia Selatan dan Tenggara. (Ahmad Norma Permata)