Islam dan Gender: Keseteraan Gender dalam Prespektif Islam

Islam dan Gender: Keseteraan Gender dalam Prespektif Islam

Moh. Rodi,rodimuhammads50@gmail.com

Prodi Magister Sosiologi, FISHUM, UIN Sunan Kalijaga

Sebelum munculnya gerakan-gerakan feminisme secara masif di dunia Barat, nilai-nilai kesetaraan dan pembebasan perempuan sejatinya telah diperkenalkan dalam ajaran Islam sejak masa Nabi Muhammad saw. Dalam konteks sejarahnya, perempuan memperoleh hak-hak dasar seperti kepemilikan harta, hak atas warisan, partisipasi dalam kegiatan sosial, serta akses terhadap pendidikan dan ilmu pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip keadilan gender bukanlah konsep asing dalam Islam, melainkan telah menjadi bagian dari visi normatif agama sejak awal kemunculannya. Bahkan, nilai-nilai keseteraan dan pembebasan perempuan sejatinya telah diperkenalkan dalam ajaran islam sendiri sejak masa Nabi Muhammad SAW. Pada masa jahiliyah seorang perempuan tidak mendapatkan hak waris, tetapi ketika islam datang perempuan juga mendapatkan hak waris. Kemudian pada tradisi masyarakat yang sangat membenci kelahiran anak seorang perempuan, ketika islam hadir mereka mengubah sistem tersebut dengan diberikan janji pahala bagi setiap orang yang memperlakukan anak perempuan seperti anak laki-laki. Nilai-nilai yang ada dalam syari’at islam kemudian membengkor sistem struktur patriarki pada masa jahiliyah kala itu. Bahkan catatan yang dilakukan Ruth Roded jumlah dari ribuan sahabat Nabi, 1200 diantaranya adalah kaum perempuan. Pada masa Nabi juga banyak catatan yang menjelaskan bahwasanya para kaum perempuan berhasil menguasai tahta kekuasaan politik, sehingga pada masa nabi relasi antara laki-laki dan perempuan terjadi dengan setara dan ideal.

Munculnya gerakan-gerakan perempuan di Barat dengan memperjuangkan isu kesetaraan gender, kemudian mendorong kemunculan gerakan feminisme Islam di dunia Muslim. Gerakan perempuan di negara-negara muslim kemudian muncul yang bertujuan untuk mengubah struktur sosial dan ekonomi yang dianggap merugikan perempuan, serta menafsirkan ulang peran dan posisi perempuan dalam kerangka nilai-nilai keadilan yang sejalan dengan ajaran Islam. Faktor yang menyebabkan status perempuan dirugikan yakni akibat kolinalisme, sebab pada awal dekade abad 20 M, beberapa perempuan khususnya para pekerja kelas bawah di kota-kota seperti Mesir dan Syiria mengalami penindasan akibat konsekuensi dari perubahan model ekonomi dan politik. Akibat hal tersebut, untuk pertama kalinya muncul sebuah topik perempuan naik ke permukaan dalam menentang konsekuensi tersebut. Gerakan-gerakan tersebut kemudian dikenal dengan istilah tahrirul mar’ah, yang mana gerakan tersebut merupakan gerakan perempuan muslim yang dimulai dari negara-negara Timur.

Kemudian wacana dalam islam tentang gerakan perempuan berkembang di Mesir, yang bermula dari banyaknya para pemikir modern di Mesir yang pernah belajar di Eropa. Kemudian berlanjut dari banyaknya beberapa sarjana yang mulai pulang dari Eropa, seperti Rifa’ah Tahtawi yang pernah belajar di Prancis. Selain itu, Rifa’ah Tahtawi juga menjadi pelopor dalam gerakan pembaharuan Mesir dalam berbagai bidang, yang dianggap sebagai kebutuhan Mesir pada kala itu butuh dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berangkat dari kebutuhan tersebut, ia mempolopori masyarakat untuk melakukan pembaharuan baik dari sektor keagamaan, budaya dan sosial. Salah satunya adalah pembaharuan terhadap kondisi kaum perempuan dan juga memberikan hak-hak mereka yang sudah ditetapkan dalam syariat agama islam.

Salah satu karya dari Rifa’ah Tahtawi yang menjelaskan tentang reformasi terhadap kondisi perempuan kala itu yakni berjudul “al-Mursyid al-Amin Li al-Banat wa al-banin”. Dalam karyanya tersebut terdapat beberapa konsep pengajaran terhadap kaum perempuan, dalam memperbaiki dan mereformasi kehidupan mereka yang mengalami penindasan. Gerakan perempuan yang dikehendaki oleh Rifa’ah sendiri bukanlah seperti gerakan perempuan yang dikehendaki di Barat, akan tetapi gerakan perempuan yang ingin membebaskan dan memperjuangkan hak-haknya yang masih tetap dalam bingkai-bingkai atau ketentuan agama Islam. Kemudian Rifa’ah Tahtawi terkenal sebagai tokoh gerakan perempuan dalam tahrirul mar’ah, khususnya di negara Mesir dan di negara islam sendiri.

Kemudian tokoh kedua yang muncul dan terkenal dalam gerakan perempuan muslim adalah Qasim Amin. Gerakan yang dipelopori oleh tokoh ini terkenal dengan pembicaraan tentang gerakan pembebasan perempuan di kalangan islam. Karya dari Qasim Amin yang terkenal dan menggoncang masyarakat pada kala itu adalah “Halat al-Mar’ah Fi al-Hai’ati al-Ijtimaiyyah Taabiah Li Halatil Adab, Tahrirul Mar’ah, dan Mar’atun Jadidah”. Karya Qasim Amin yang paling kontraversial dari ketiga karyanya adalah Tahrirul Mar’ah yang membahas tentang jilbab bagi perempuan, batasan hak suami dalam menentukan atau memustuskan ikatan pernikahan dengan thalak, dan juga kritiknya dalam sistem pernikahan poligami. Dari ketiga ide-ide dan konsep pembahasan tersebut semuanya termuat dalam karyanya yang berjudul Tahrirul Mar’ah.

Gerakan perempuan kemudian berlanjut memunculkan tokoh-tokoh lainnya, seperti Malak Hafni Nasif, Huda Sya’rowi, Muniroh Tsabit Musa, dan beberapa tokoh lainnya. Dari beberapa tokoh tersebut Malak Hafni Nasif merupakan tokoh pertama yang melihat permasalahan perempuan dari sudut pandang perempuan. Pendapat-pendapat Malak Hafni Nasif masih dalam lingkup atau ketentuan syariat islam, salah satu syair yang terkenal darinya adalah “wal ‘ilmu wa al-diinu lil jinsaini mathlabu, falaisa yukhtasu jinsa minhuma bihima”. Arti sya’ir tersebut adalah ilmu dan agama adalah tempat mencari kepada dua jenis manusia (Laki-laki dan Perempuan), sehingga tidak dikhususkan kepada satu jenis. Dari situlah ide-ide atau konsep dari Malak Hafni Nasif masih menghubungkan dengan syariat agama, khususnya dalam memperjuangkan hak-hak kaum perempuan dalam mendapatkannya.

Gerakan perempuan muslim atau gerakan Tahrirul Mar’ah bisa dikatakan berada pada persimpangan jalan, sebab gerakan ini mempunya dua macam kelompok yakni kelompok konservatif dan kelompok moderat. Dua gerakan ini sebenernya masih berpedoman terhadap syariat islam dari Al-Qur’an dan hadits maupun pendapat ulama’, akan tetapi kelompok moderat lebih inklusif dalam menerima ide atau masukan terhadap perkembangan isu kesetaraan gender. Sedangkan kelompok konservatif masih berpegang teguh dalam pemahaman atau penafsiran dari Al-Qur’an dan hadits.

Kelompok konservatif biasanya mengkritik gerakan perempuan di Barat yang menurut mereka tidak islami, sebab gerakan perempuan tersebut memperjuangkan kesamaan atau keseteraan lelaki dalam akses dunia kerja dan pasangan (sesama jenis). Menurut kelompok konservatif perkara ini merupakan suatu perkara bodoh ketika menyuarakan kesamaan antara laki-laki dan perempuan, sebab secara kodrati laki-laki dan perempuan terlahir dengan kondisi yang berbeda dan memiliki fungsi berbeda pula. Landasan yang mereka jadikan pedoman salah satunya dalam ayat Al-Qur’an pada surat an-nisa’ ayat 34, pada ayat ini merupakan salah satu bukti yang menjadi pembeda antara laki-laki dan perempuan. Pada ayat tersebut pada kata qawwamuna merupakan arti dari kepemimpinan seorang laki-laki terhadap perempuan, sedangkan kepemimpinan perempuan adalah dalam rumah tangga yakni dalam ranah domestik sebagai pembantu suami dalam membela dan menjaga moralitas keluraga. Kelompok ini juga, ternyata mendukung terhadap kewajiban seorang perempuan dalam memakai jilbab, mendukung terhadap poligami yang dianggap sebagai keadilan. Kelompok konservatif bahkan menentang perempuan dalam berkarir di dunia publik, yang dianggap menjadi salah satu penyebab terjadinya krisis moral generasi muda sekarang dalam kecilnya andil seorang perempuan dalam peran rumah tangga atau sektor domistik.

Berbeda dengan kelompok konservatif, kelompok moderat memandang gerakan femenisme di Barat lebih bersifat paradigmatis dan epistimologis. Bukannya tanpa kritik, kelompok moderat mencoba lebih luas dan menerima berbagai sudut pandang dalam melihat isu keseteraan gender yang masih dalam ajaran syariat islam. Seperti halnya dalam menafsirkan kata qawwamuna dalam surat ayat an-nisa’, kelompok ini tidak menafsirkan arti kata tersebut sebagai kepemimpinan yang bersifat mutlak. Tetapi dilihat dari segi konteksnya bagaimana ayat tersebut turun dan kondisi masyarakat pada kala itu yang memang sangat di dominasi oleh laki-laki. Kelompok moderat dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits mereka mencoba mengkritisi dua hal tersebut dengan menggunakan teori dan metodologi ilmu musthalah hadits. Penafsiran yang dilakukan oleh kelompok moderat secara tidak langsung adalah proses pengembangan atas pemahaman dari berbagai sumber agama maupun teks-teks agama yang lebih inklusif, kritis, kontekstual dan substantif. Sehingga makna dari penfasiran dari suatu ayat ataupun hadits lebih mendapatkan makna luas, baik dari aspek sosialnya maupun asbabun nuzulnya suatu ayat.

Beberapa ayat Al-Qur’an yang sering kali dipakai oleh mufassir femenis atau kelompok moderat yakni QS. al-Dzariyat [51]: 56), QS. al-Hujurat [49]: 13; QS. al-Nahl [16]: 97. QS. al-An’am[6]: 165. QS. al-A’raf [7] 172. QS. al-Baqarah [2]: 35,187; QS. al-A’raf [7]: 20, 22,23. QS. Ali Imran [3]: 195, QS. al-Nisa’ [4]: 124; QS. Ghafir [40]: 40. Dari beberapa ayat tersebut laki-laki dan perempuan merupakan sesuatu yang setara, baik dari sama-sama sebagai hamba Allah, sama-sama Khalifah Allah di muka bumi, sama-sama berpotensi meraih prestasi, sama-sama menerima perjanjian primordial dengan Tuhan, kemudian Adam dan Hawa sama-sama terlibat dalam drama kosmis. Sehingga dari beberapa ayat yang telah disebutkan sebelumnya menunjukkan bahwasanya laki-laki dan perempuan adalah setara secara gender, penyebutan baik dari laki-laki dan perempuan dalam setiap ayat itu bertujuan untuk menunjukkan keseteraan tersebut.

Pandangan mufassir femenis terhadap mufassir klasik (konservatif) ialah mereka para mufassir klasik sering melebih-lebihkan apa yang ada dalam Al-Qur’an yang ditegaskan sendiri sebagai nilai moral. Padahal jika laki-laki dan perempuan di hadapan Tuhan adalah setara, lantas kata mereka kenapa di hadapan sesama manusia justru tidak setara. Pertanyaan inilah sering muncul dan dikedepankan oleh para mufassir femenis atau kelompok moderat. Penafsiran yang dilakukan oleh mufassir klasik (konservatif) seolah-olah mempunyai kepentingan tersendiri, seolah-olah mereka tidak melihat kondisi sosial budaya pada ayat tersebut. Mereka hanya melihat bahwasanya laki-laki dan perempuan adalah sesuatu yang tidak sama baik dari secara kodrati, sehingga secara gender mereka juga dipandang berbeda juga.

Isu-isu keseteraan gender secara garis besar yang disuarakan oleh gerakan perempuan di Barat sebenarnya nilai-nilai yang mereka perjuangkan dalam agama islam juga sudah ada. Berangkat dari inilah para mufassir atau ilmuan muslim mulai menyuarakan untuk mendapatkan dan memberikan hak-hak perempuan yang pada saat itu mengalami kondisi tertindas. Akan tetapi, penafsiran tentang ayat-ayat suci Al-Qur’an dan hadits terdapat beberapa perbedaan dalam memahami konteks ayat tersebut. Para mufassir klasik (konservatif) mengatakan bahwasanya ayat-ayat dalam Al-Qur’an sudah jelas menjelaskan tentang perbedaan seorang laki-laki dan perempuan. Secara fungsi perempuan lebih ditempatkan dalam ranah domestik dalam menjaga dan membantu moral keluarga. Sedangkan kelompok moderat dalam menafsirkan ayat-ayat suci Al-Qur’an mencoba dengan lebih inklusif, kritis, rasional, dan substantif. Sehinnga hasil penafsiran yang mereka dapatkan tentu ada sebuah perbedaan.

Sumber referensi:

Muhammad, K. H. (2020).Perempuan ulama di atas panggung sejarah. IRCiSoD.

Hasyim, S., Abdalla, U. A., & Rahmat, I. (1999). Gerakan Perempuan Dalam Islam Perspektif Kesejarahan Kontemporer.Tashwirul Afkar,5(1), 2-11.

Aisy, A. R., Octaviani, A. S., Nabiilah, A., Nurain, A. S., & Muhyi, A. A. (2023, May). Pandangan Islam tentang Feminisme dan Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an. InGunung Djati Conference Series(Vol. 24, pp. 237-256).